Klasifikasi yang baik dapat merupakan pedoman pencarian problem-problem penelitian biologi, serta bidang-bidang ilmu lainnya. Oleh karena itu para ahli taksonomi mempunyai tanggung jawab berat dalam membuat sistem klasifikasi yang dapat menjadi pedoman secara umum bagi ilmu lainnya.
1. Sistem Klasifikasi dalam Sejarah Perkembangan Taksonomi Tumbuhan
Perbedaan dasar yang digunakan dalam mengadakan klasifikasi tumbuhan memberikan hasil klasifikasi yang berbeda-beda sehingga dari masa ke masa melahirkan sistem klasifikasi yang berlainan juga. Menurut sejarahnya sistem klasifikasi tumbuhan dibedakan menjadi:
2. Sistem klasifikasi buatan
Klasifikasi yang didasarkan pada satu atau dua ciri morfologi yang mudah dilihat yang tujuan utamanya adalah untuk mempermudah pengenalan tumbuhan. Terdiri dari 2 periode yaitu :
a. Periode sistem Habitus
Dalam periode ini sistem klasifikasinya didasarkan pada habitus, yaitu kesan keseluruhan yang nampak dari suatu tumbuhan. Berlangsung dari 300 SM hingga pertengahan abad ke-18, dengan pelopornya adalah Theopratus (370-385 SM). Menurut sistem ini tumbuhan digolongkan menjadi pohon, perdu, semak, dan herba. Para ahli filsafat dan penggemar alam pada periode ini adalah Albertus Magnus(1193-1280), Otto Brunfels(1464-1534), Jerome Bock (1489-1554), Andrea Caesalpinus (1519-1602), Jean Bauhin(1541-1631), Josseph Pitton De Turnefort (1656-1708), John Ray (1628-1705), dan lain-lainnya mengajukan gagasan-gagasan baru tentang dasar-dasar klasifikasi tumbuhan.
b. Periode sistem Numerik
Sistem klasifikasinya didasarkan pada jumlah-jumlah dan susunan alat kelamin tumbuhan. Disebut juga sistem seksual, penciptannya adalah Carolus Linnaeus (1707-1778). Linnaeus membagi tumbuhan menjadi 24 kelas antara lain monoandria (golongan tumbuhan dengan satu benang sari), diandria (golongan tumbuhan dengan dua benang sari), dan seterusnya. Tokoh-tokoh lain yang dikenal dalam periode ini adalah Peter Kalm (1716-1779), Fredrick Hasselquist (1723-1752), dan Peter Thunderg (1743-1828).
3. Sistem Klasifikasi Alam
Klasifikasi yang didasarkan pada hubungan kekerabatan yang ditunjukkan oleh banyaknya persamaan bentuk yang terlihat sehingga dapat disusun takson-takson yang bersifat alami. Sistem ini dikatakan alami karena dianggap mencerminkan keadaan sebenarnya seperti terdapat di alam. Kesadaran mengenai adanya hubungan kekerabatan disebabkan oleh bertambahnya ilmu pengetahuan tentang fungsi dan morfologi dari organ tumbuhan serta kemajuan ilmu pengetahuan optik, sehingga pengamatannya lebih seksama dibandingkan periode sebelumnya. Tokoh-tokoh terkemuka pada periode ini antara lain adalah Lamarck (1744-1829), Michel Adenson (1727-1826), dan Antonie Laurent de Jussieu (1748-1836) yang membagi tumbuhan menjadi Acotyledonae, monocotyledonae, dan dicotyledonae. Sistem de Jussie ini kemudian disempurnakan oleh tokoh-tokoh lain seperti Augustine Pyrame de Candole (1778-1884), Sir Joseph Dalton Hooker (1817-19) dan George Bentham (1800-1884).
4. Sistem Klasifikasi Filogenetik
Klasifikasi yang didasarkan pada jauh dekatnya hubungan kekerabatan antara takson satu dengan takson lainnya. Sistem klasifikasinya didasarkan pada filogeni takson-takson dengan mengikutsertakan teori evolusi. Takson-takson yang dibentuk ditempatkan dengan urutan-urutan , yang diberi segi filogeni mempunyai tingkatan yang lebih rendah (primitif) sampai ke tingkatan yang tinggi (maju). Periode ini bertahan dari pertengahan abad 9 hingga sekarang, merupakan salah satu akibat logis timbulnya teori evolusi yang dipelopori oleh Jean Baptise Lamarck (1744-1824), disusul oleh Charles Darwin dengan karyanya On the Origin Of Species by Means of Natural Selection (1859). Tokoh-tokoh yang terkemuka pada periode ini antara lain August Wilhem Eichler (1839-1887), ia membagi tumbuhan menjadi Cyptogameae (thalophyta, bryophyta, pteridophyta) dan Phanerogamae (spermatophyta). Masing-masing golongan masih dibagi lagi menjadi takson-takson yang lebih rendah. Sistem ini kemudian disempurnakan lagi oleh tokoh-tokoh lain seperti Adolph Engler (1844-1930), Richard von Wettstein (1862-1931), Charles E. Bessey (1845-1915), dan Hans Hallier (1868-1932).
5. Sistem Klasifikasi Kontemporer
Klasifikasi yang didasarkan pada pengkuatitatifan data penelitian taksonomi dan penerapan matematika dalam pengolahan datanya. Sistem ini lahir akibat kemajuan ilmu pengetahuan yang pesat dalam abad ke-20. Komputer telah digunakan secara luas dalam pengembangan metode kuantitatif dalam klasifikasi tumbuhan yang melahirkan bidang baru dalam taksonomi tumbuhan yaitu taksonomi numerik, taksometri, atau taksonometri. Taksometri numerik didefinisikan sebagai metode evaluasi kuantitatif mengenai kesamaan atau kemiripan sifat antar golongan organisme, dan penataan golongan-golongan itu melalui suatu analisis kelompok ke dalam kategori takson yang lebih tinggi atas dasar kesamaan-kesamaan tadi. Taksonomi numerik didasarkan atas bukti-bukti fenetik, artinya atas kemiripan yang diperlihatkan objek studi yang diamati dan dicatat, dan bukan atas dasar kemungkinan-kemungkinan perkembangan filogenetiknya. Kegiatan-kegiatan dalam taksonomi numerik bersifat empirik operasional, dan data serta kesimpulannya selalu dapat diuji kembali melalui observasi dan eksperimen. Langkah-langkah yang biasanya dilakukan dalam melaksanakan kegiatannya meliputi:
- Pemilihan objek studi, yang dapat berupa individu, galus, varietas, jenis, dan seterusnya. Yang terpenting adalah setiap unit-unit yang dijadikan objek studi tersebut harus mewakili golongan organisme yang sedang diteliti.
- Pemilihan ciri-ciri yang akan diberi angka atau skor. Jumlah ciri yang dipilih untuk pemberian angka harus cukup banyak, sekurang-kurangnya 50 ciri, yang masing-masing diberi kode dan selanjutnya disusun dalam bentuk tabel atau matriks.
- Pengukuran kemiripan, dengan cara membandingkan tiap ciri pada masing-masing unit takson. Besarnya kemiripan akan berkisar dari 0 (tidak ada kemiripan) sampai 100 untuk keadaan persis sama (identik).
- Analisis kelompok. Matriks kemiripan ditata kembali sehingga unit-unit takson yang memiliki kemiripan bersama yang paling tinggi dapat dikumpulkan menjadi satu. Kelompok-kelompok itu disebut fenon, dan dapat ditata secara hierarki dalam suatu diagram yang disebut dendogram.
- Diskriminasi. Setelah klasifikasi dilakukan kita dapat menelaah kembali ciri-ciri yang dilibatkan dalam kegiatan ini, untuk menemukan ciri yang paling konstan, dan oleh karena paling bernilai untuk pembuatan kunci identifikasi dan diagnosis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar